Jumat, 13 Februari 2015

10080 ChanBaek


10080
Originally writen by Exobubz
Translated by violetkecil and mongguu
Genre: Angst| Rated: PG-17 | Length: Oneshot |Cast : Chanyeol dan Baekhyun
We have permission to translate this. Please do not steal our translation. No plagiarize in any form. Comments are very welcome~~
Chanyeol wanted a divorce. Baekhyun asked for a week.



Hanya tujuh bulan mereka berstatus pacaran. Kebahagiaan mereka terukur dalam jumlah tawa yang mereka bagi, jumlah malam-malam tanpa batas dimana mereka menghabiskan waktu di lengan yang saling memeluk dan jumlah cinta yang mereka miliki untuk satu sama lain. Ciuman-ciuman singkat di kampus sudah cukup untuk mereka, karena saat-saat bersama yang dihabiskan saat malam lebih dari sekedar cukup. Perlu waktu dua minggu untuk Chanyeol mengumpulkan keberanian mendekati pria berambut cokelat yang ceria dan berpostur tubuh mungil di salah satu kelasnya, tetapi hanya perlu satu detik untuk Baekhyun mengatakan iya untuk apapun itu yang ditanyakan pria bertubuh tinggi itu.

Dalam waktu sebulan, mereka mengenal satu sama lain. Baekhyun adalah seorang penulis jurusan Bahasa Inggris dan Jurnalistik, walaupun ia tidak memiliki rencana bekerja untuk majalah ataupun surat kabar manapun. Ia lebih memilih menulis novel dan bekerja mandiri. Chanyeol sendiri di jurusan Pemasaran dan Bisnis. Setiap orang yang melihat mereka berpikiran bahwa keduanya tidak seperti pasangan. Baekhyun memiliki pikiran yang terbuka dan selalu tersenyum, sedangkan Chanyeol selalu memiliki wajah yang sejalan dengan sikap tenangnya. Perbedaan-perbedaan mereka lebih dalam dari sekedar perbedaan jurusan kuliah dan kepribadian. Baaekhyun menyukai kopi dengan susu dan gula, dan ia menulis hal-hal dari situasi yang tidak mungkin dan penuh fantasi. Chanyeol, di sisi lain, menyukai kopi hitam dan lebih memilih hal yang bersifat praktikal dan realistis dibanding fantasi. Orang-orang percaya bahwa pribadi Baekhyun yang terbuka dan menyenangkan tidak akan pernah cocok dengan Chanyeol yang rasional dan penuh pertimbangan, tetapi mereka salah.

Tujuh bulan penuh kesempurnaan, Chanyeol melamar pria mungil berambut coklatnya itu, Byun Baekhyun, mengatakan iya.

Mereka menunggu beberapa bulan sebelum berjanji akan saling mencintai hingga kematian memisahkan mereka. Setelah kelulusan dan pernikahan, mereka menemukan sebuah apartemen. Kecil namun tidak menjadi masalah untuk mereka berdua. Sentuhan Baekhyun membuat tempat itu menjadi terasa lebih seperti sebuah rumah, rumah yang membuat Chanyeol kembali dengan hati senang setelah waktu kerja yang cukup berat. Setiap malam ia memeluk Baekhyun dan membisikkan janji-janji—rumah yang lebih besar dimana ia bisa mendekorasinya dengan lebih bebas—tanpa batas.

Dan setiap malam, Baekhyun akan tersenyum di dada Chanyeol dan berterima kasih pada pria itu.
Kinerja dan kepribadian Chanyeol yang menarik memungkinkannya untuk mendapatkan promosi jabatan dengan cepat. Seiring dengan pemasukan yang bertambah, begitu juga jumlah uang di rekening bank mereka. Suatu malam, Chanyeol dengan lembut menyingkirkan laptop Baekhyun dari pria itu dan meletakkannya di atas meja kopi di dekatnya. Kemudian ia berlutut di depan Baekhyun, dan menggenggam tangan pria itu.

“Baek,” ucapnya perlahan, tidak melepaskan pandangan dari Baekhyun. “Aku ingin membelikanmu  rumah yang selalu aku janjikan padamu hari itu.”
Dengan bibir gemetar, Baekhyun tergagap dan kemudian mengangguk, melingkarkan lengannya di leher Chanyeol sembali mengucapkan terima kasih. Malam itu mereka saling memeluk, menyesapi setiap sentuhan, menyatukan tubuh dalam cinta—perlahan dan begitu dalam.




Rumah itu harus memfasilitasi apa yang Chanyeol pikirkan diperlukan Baekhyun untuk pekerjaanya; damai dan tenang. Mereka menemukan perumahan yang kecil namun sangat tenang jauh di luar lingkungan sosial kelas atas; di dekat pedesaan. Ketika Chanyeol menatap Baekhyun dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan?” Ia sudah tahu jawabannya.

I love it, Yeol…”

Tersenyum, Chanyeol menggenggam tangan Baekhyun. “Then let’s get it.”

Sambil menatap Chanyeol, Baekhyun terlihat sedikit khawatir, “Tapi, ini sejauh satu jam dari tempat kerjamu.”

Chanyeol mengangkat bahu, “Jika kau menyukai ini maka aku tidak masalah dengan hal itu. Hanya perlu masing-masing enam puluh menit untuk pulang dan pergi. Bukan hal yang mustahil untuk pulang pergi seperti itu.”
Setelah beberapa saat, Baekhyun bertanya lagi—apakah ia benar-benar tidak masalah. Chanyeol mengangguk dan kemudian kertas perjanjian sudah ditanda tangani.
Rutinitas yang dilakukan Chanyeol adalah pulang dan pergi dari tempat kerja, namun seiring dengan pekerjaan yang semakin menumpuk, menyebabkan Chanyeol untuk bekerja lembur. Saat rutinitas seperti itu terus berlanjut tanpa habisnya, membuat ia sulit untuk bolak-balik setiap hari. Dia sering menemukan dirinya kelelahan dan mata menjadi kabur saat mengemudi. Karena itu, ia harus minum kafein sebelum mengemudi, yang akan menyebabkan dia kacau selama bekerja atau membuatnya tidak bisa tidur setelah ia tiba kembali di rumah.

Baekhyun mulai merasa bersalah karena menikmati kehidupan yang tenang, sementara Chanyeol bekerja keras untuk memberinya kehidupan yang seperti itu. Setelah memikirkan tentang beberapa alternatif, Baekhyun menemukan satu solusi yang paling mungkin untuk permasalahan mereka.

“Chanyeol, mungkin sebaiknya kamu mencari apartemen di kota,” saran Baekhyun dengan lembut di meja makan suatu malam. Ketika ia menatap suaminya, ia melihat mata yang lelah menatapnya balik.

“Kamu ingin aku mencari apa?” ujar Chanyeol, terdengar tidak percaya.

Sambil menghela nafas, Baekhyun menatapnya prihatin, “Aku tidak suka melihatmu seperti ini, Yeol. Setiap hari kau pergi kerja dengan tampang setengah hidup. Kemudian kau pulang, dan justru terlihat lebih buruk. Kau menghabiskan waktu dua jam hanya untuk pulang dan pergi. Waktu selama itu bisa kau gunakan untuk tidur lebih…”

Dengan suasana hati yang buruk, Chanyeok mengusap ujung mata, “Baek, aku baik-baik saja.”

“Tidak, kamu tidak!” sangkal Baekhyun. “Dengarkan, sebuah apartemen bisa berarti—“

“Aku sudah mengatakan aku baik-baik saja, Baek,” ulang Chanyeol taegas. “Berhenti mengkhawatirkanku, damn it.”

Baekhyuun menjadi jengkel dengan sikap acuh Chanyeol. Baekhyun meletakkan semua peralatan makan dan berdiri dari meja, “Baiklah, apakah itu salah jika aku mengkhawatirkanmu?” teriaknya dengan suara tegang.

Tidak seperti Bakehyun, Chanyeol tetap duduk di kursi. “Baek, duduklah.”
Dengan tangah terkepal, Baekhyun melotot, “Tidak. Chanyeol, kau tidak mendengarkanku. Aku hanya ingin membantumu.”

Membantuku?” bentak Chanyeol. “Tidak, Baek. Untukku, dengan kamu mencoba dan menyaranku untuk mencari tempat terpisah untuk hidup terlihat seperti kau ingin aku pergi.” Waktu tidur yang kurang dan fakta bahwa ia bekerja terlalu keras tidak memberi efek  baik kecuali membuatnya lebih jengkel.

Baekhyun tampak terkejut. “Bukan itu yang aku inginkan.”

“Pelankan suaramu, Baek,” geram Chanyeol. “Kau terlalu berisik.”

Frustasi,  Baekhyun mendorong kursinya dengan kasar, “Aku tidak ingin kau pergi! Kau benar-benar pria yang membuat frustrasi, tapi sialnya, aku mencintamu! Jadi, ini menyakitkan melihatmu menambah dua jam yang membebankan ke harimu hanya untuk berpergian pulang dan pergi.”
Baekhyun menggigit bibirnya, “Itu sangat mengakitkan, Yeol, tapi kau tidak melihatnya karena saat kau melangkah ke dalam rumah, kau tertidur. Kau bahkan tidak melihatku lagi karena kau begitu lelah.”

Untuk sesaat, Baekhyun menunggu respon, namun Chanyeol tetap diam. Kemudian Chanyeol membuka suara, “Kau terlalu berlebihan,” gumamnya.

Baekhyun merasa seperti dipukul. Jelas pembicaraannya tidak ada yang menyentuh Chanyeol. Suaminya menolak untuk mendengarkan dan bahkan berani menyebutnya ‘berlebihan’ ketika kenyataanya, ia hanya mengungkapkan ras pedulianya. Dengan tubuh bergetar, ia berbalik dan meninggalkan meja sebelum Chanyeol menyadari butiran air mata yang begitu pahit terbentuk di matanya.



Ketika pikiran Chanyeol kembali jernih, ia memikirkan ulang permintaan Baekhyun kemarin malam. Ia mengakui salahnya yang tidak memberikan Baekhyun kesempatan untuk mengatasi permasalahannya, tapi akhirnya ia menyalahkan kurang tidurlah yang menyebabkan kemuraman dan suasana hatinya yang tidak menyenangkan malam itu. Setelah bersedia mendengarkan suaminya, Chanyeol mengetuk ruang kerja Baekhyun yang tertutup dan terkunci.

“Baek, aku tahu kamu di dalam. Bukalah.” Semenit berlalu, Chanyeol mengetuk lagi. “Baekhyun, bukalah pintunya. Kita perlu berbicara dan membiarkanku berdiri di luar sini hanyalah membuang waktu.”

Tidak berapa lama kemudian Chanyeol mendengar Baekhyun membuka kunci pintu. Membiarkan dirinya masuk, Chanyeol memperhatikan Baekhyun yang membelakanginya untuk kembali ke mejanya. Chanyeol tidak senang dengan keputusan Baekhyun memberinya perlakuan dingin, tapi ia menyadari bahwa ia pantas mendapatkan itu. Tidak satupun dari mereka berbicara untuk beberapa saat hingga Chanyeol meletakkan tangan di belakang kursi Baekhyun, bersandar padanya.

“Baek…” ucapnya lembut. “Kau tahu aku tidak suka ketika kau mengacuhkanku…”
Baekhyun menoleh—memberikan tatapan sedih namun juga marah, “Tapi ketika aku benar-benar peduli, aku berlebihan, bukan?”

Saat itu, Chanyeol menyesal tidak menahan lidahnya malam sebelumnya. Ia tahu bahwa mereka berbeda. Baekhyun suka mengungkapkan perasaannya—apakah itu berarti dengan ekspresi gerakan tangan atau meninggikan suaranya, sementara dia lebih suka memendamnya. Tapi terkadang ia lupa dengan kebiasaan Baekhyun, yang membentuk sosok seorang Baekhyun, memandang rendah hal-hal kecil yang menurutnya rumit, dan hasilnya justru melukai pasangannya.

Dengan wajah serius, Chanyeol memutar kursi Baekhyun menghadapnya dan membuat pria itu berdiri. Ketika Baekhyun menolak, Chanyeol menariknya sedikit lebih kuat hingga Baekhyun mau tidak mau berdiri. Sambil memeluknya erat, Chanyeol membenamkan wajah di puncak kepala Baekhyun.

“Aku tidak bermaksud seperti itu.” Chanyeol mengayunkan tubuh mereka ke kiri dan kanan, “Aku minta maaf, Baek,” lanjutnya.

Terasa begitu lama sebelum Baekhyun akhirnya menggerakkan lengannya, pelan—menyentuh dada Chanyeol dengan ujung jari sebelum melingkarkan lengan di pinggang Chanyeol, “Kau benar-benar moody akhir-akhir ini, Yeol…”

Chanyeol mengerucutkan bibirnya. Ia tahu suasana hatinya akhir-akhir ini sangat buruk—faktanya, selama berminggu-minggu. Kekurangan waktu tidur dan bekerja lembur memberi dampak yang buruk. Itu jelas untuknya, meskipun, dampak itu tidak hanya terjadi pada dirinya dan juga tubuhnya, namun juga hubungannya dengan Baekhyun. “Aku tahu, aku minta maaf.”

Untuk Chanyeol, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain meminta maaf. Ia tidak bisa membuat janji. Ia tidak bisa berjanji akan pulang ke rumah lebih cepat, mengurangi pekerjaan, atau tidur lebih banyak. Janji-janji seperti itu tidak bisa dilakukan karena ia tidak tahu apakah ia bahkan bisa menepatinya. Lebih baik tidak memberikan janji apapun sama sekali dibanding menjanjikan sesuatu yang hampa.

Jika ia tidak mendengarkan atau ruangan tidak setenang ini, Chanyeol tidak akan mendengar isakan Baekhyun. Ketika ia mencoba memandangi wajahnya, Baekhyun justru memeluknya semakin erat, menenggelamkan wajah di dada Chanyeol, tidak membiarkan Chanyeol untuk memandanginya. Chanyeol berdiam diri dan hanya bergerak untuk mengecup puncak kepala Baekhyun dengan lembut.

“Aku tidak seharusnya menghentikanmu,” aku Chanyeol. “Kau hanya mencoba untuk membantu.”
Keheningan berlalu sebelum Baekhyun mengangkat kepala, “Aku mengkhawatirkanmu. Kau tahu itu, kan?”

Chanyeol mengangguk.

“Terkadang aku berpikir memiliki rumah sejauh ini adalah kesalahan. Di malam hari aku merasa bersalah, Yeol,” ucap Baekhyun dengan suara bergetar. “Kau melakukan semua ini untukku dan lihatnya kau seperti ini, aku—“

Chanyeol memotongnya dengan tatapan tajam, “Berhentilah. Kau tidak berhak merasa bersalah tentang apapun. Aku mencintaimu. Aku melakukan ini untukmu. Mengapa aku seperti ini tidak ada hubungannya denganmu. Ini karena pekerjaan, jadi jangan menyalahkan dirimu sendiri untuk keadaanku.”

“Tapi jika kita memilih rumah di kota, maka—“

“Akan tetap sama,” bantah Chanyeol. “Ini masih akan terjadi dengan banyaknya pekerjaan dan permasalahan tak beralasan yang aku hadapi sehari-hari. Ditambah, kamu tidak akan memiliki kehidupan yang tenang yang kamu butuhkan untuk bukumu, dan aku tahu seberapa pentingnya yang sedang kau kerjakan saat ini. Itu novel perdanamu dan kamu tidak perlu adanya gangguan-gangguan. Itulah mengapa kita di sini. Karena itu aku memilih tempat yang tenang. Aku melakukan ini untukmu dan jika aku memiliki kesempatan untuk mengubahnya yang terjadi  ketika kita mencari rumah, aku tidak akan mengubah apapun, karena aku menjanjikanmu sesuatu seperti ini dan aku mendapatkannya. Ini surga kecil kita yang jauh dari perkotaan, Baek.”

Baekhyun menunduk sambil menggigit bibirnya. Ia melepaskan lengan dari pinggang Chanyeol, justru, menggenggam kemeja Chanyeol, “Perjalanannya terlalu jauh. Itu terlalu lama. Kamu mengemudi sangat pagi dan larut malam. Aku tidak ingin terjadi kecelakaan padamu karena kamu terlalu lelah untuk tetap membuka mata,” ucapnya.

Dengan nafas tidak teratur, Baekhyun menghela nafas dan memandang Chanyeol lagi, “Chanyeol, tolong pikirkan untuk membeli apartemen sementara di kota. Tempat yang bisa kamu tuju jika kamu merasa tidak sanggup pulang ke rumah.”

Chanyeol membuka mulut untuk berargumen, tapi Baekhyun menatapnya. “Aku tidak ingin kamu pergi dan aku tidak suka ide kita tinggal terpisah, tapi itu lebih mudah untukmu dan kondisi tubuhmu, lalu—“

“Baek, paling tidak di setiap akhir hari ada kamu,” sela Chanyeol. “Aku mungkin sangat lelah dan terlihat sangat kacau, tapi paling tidak aku pulang ke rumah untukmu.”

“Jika kau kau tertidur saat mengemudi, maka tidak, Chanyeol,” ucap Baekhyun tegas, dengan nada terluka. “Aku tidak ingin. Kamu mati dan tempat aku melihatmu selanjutnya adalah kamar mayat, mengindetifikasi tubuhmu!”

Chanyeol melepaskan lengannya dan menaruhnya di pundak Baekhyun, “Baek—“

“Yeol, aku telah memperhitungkannya, okay?” ucap Baekhyun—mencoba mengganti topik pembicaraan ke sesuatu yang lebih wajar. “Itu lebih mudah dan lebih nyaman dibandingkan menginap di hotel terus menerus.”

“Baek, aku tidak peduli,” geram Chanyeol. “Apapun itu, kau satu-satunya yang membuat kakiku tetap menginjak tanah—menjagaku tetap waras. Tidur di apartemen di kota mungkin membuatku mendapatkan waktu tidur satu atau dua jam lebih lama, tapi itu menjauhkanku darimu, damn it!”

“Kalau begitu, jual saja rumah ini!” ucap Baekhyun frustasi.

Chanyeol terperanjat menatapnya, “Apa?”

Alis Baekhyun berkerut, “Jual rumah ini. Ayo pindah kembali ke kota. Itu akan—“

“Tidak,” ucap Chanyeol kukuh. “Kita tidak akan menjual rumah. Aku membeli rumah ini untukmu karena ini sempurna untukmu dan ini yang kau butuhkan.”

“Tapi, Chanyeol—”

“Aku bilang tidak, Baekhyun,” ujar Chanyeol. “Aku tidak ingin kau menyerah seperti ini. Aku tidak ingin membawamu ke tempat dengan ritme kehidupan yang cepat—kota yang berisik dan orang-orang yang dikejar waktu.”

Beberapa saat berlalu sebelum Baekhyun bertanya, “Lalu apa yang ingin kau lakukan?”

Memandangi Baekhyun, Chanyeol mengusap belakang lehernya sebelum meletakkan telapak tangan di pipi Baekhyun, “Baiklah. Aku akan…” ia menggigit lidah dan menghela nafas berat, “Kita akan akan mencari solusinya—tapi kita akan duduk dan merencanakan semuanya,” ucapnya tegas.

“Seperti, aku memiliki jadwal yang sibuk, kamu harus datang dan mengunjungiku paling tidak empat kali seminggu untuk memasakkanku sesuatu. Karena aku memerlukanmu juga, Baek. Tidak hanya untuk tidur. Aku membutuhkanmu di tempat tidur denganku, baik itu hanya untuk tidur bersama atau melakukan hal lain yang lebih.”

Pelan, Baekhyun mengangguk, sedikit bahagia bahwa Chanyeol setuju. “Kita tidak akan membiarkan jarak menjadi masalah. Kita akan saling menghubungi—Tidak, aku akan meneleponmu. Aku akan meneleponmu ketika jam makan siangmu dan juga waktu lainnya. Kau harus meneleponku ketika kamu memutuskan untuk datang ke rumah saat malam, tapi untuk akhir pekan, kamu harus mencoba dan paling tidak pulang pada dua hari itu. Sabtu dan Minggu, maksudku, aku juga membutuhkanmu.”
Sambil menautkan jari jemari mereka, Chanyeol mengendurkan beban di bahunya, “Kapan kamu akan mulai mencari?”

“Bukankah semuanya tergantung jadwalmu?” Baekhyun mengingatkan dengan nada ramah dengan senyum yang dipaksakan.

Pernyataan itu benar. Semua yang mereka lakukan bersama harus sesuai dengan jadwal Chanyeol. Dulu tidak seperti itu. Saat mereka baru menikah, Chanyeol tidaklah sesibuk sekarang dan memiliki waktu untuk menyesuaikan aktivitasnya di kantor. Sekarang, semua itu telah terjadwal. Hal-hal seperti pertemuan dan persentasi tidak bisa dipindah jadwal, dan sangat jarang beberapa hal dijadwalkan ulang hanya karena seseorang menginginkan waktu libur bersama pasangan atau kekasih mereka. Walaupun beberapa hal telah berubah, mereka belajar cara mengatasi perubahan-perubahan ini, terutama Baekhyun. Chanyeol lambat menyadarinya, tapi itu karena ia bagian dari semua perubahan itu. Baekhyun lebih menyadarinya karena dialah yang duduk diam, memperhatikan karir Chanyeol semakin menanjak dan mulai meninggalkannya di awal.

“Ayo pergi saat kamu memiliki hari libur.”

“Aku tidak memiliki hari libur, Baek.”

Baekhyun tertawa kecil dan memukul sisi tubuhnya dengan pelan, “Aku tahu.” Ia mendesah berat dan mengangkat bahu. “Aku akan melihat daftar apartemen dan kita bisa pergi bersama saat kau memiliki waktu. Jika tidak, aku yang akan melakukannya untukmu.”

Setelah mempelajari ekspresi wajah Baekhyun untuk sesaat, Chanyeol bertanya dengan lembut, “Apakah kamu yakin dengan ini?”

Baekhyun mengangguk dengan lembut, “Iya. Ini hanya seperti memiliki dua rumah. Ini akan baik-baik saja.” Ia memeluk Chanyeol lagi, menenggelamkan wajahnya di dada pria itu lagi—dengan lengan Chanyeol memeluk. “Kita akan baik-baik saja.”




‘Baik’ mendeskripsikan kondisi mereka dengan sempurna, tetapi baik hanya berlangsung sebentar. Untuk beberapa minggu, kesepakatan mereka berjalan baik. Setelah menemukan apartemen untuk Chanyeol, ketika ia tidak merasa akan pulang ke rumah dengan aman, mereka melakukan rencana mereka. Malam-malam ketika Chanyeol memutuskan tinggal di kota, Baekhyun—jika ia bisa—akan menyiapkan makanan dengan cepat, melakukan perjalanan yang lumayan panjang dengan subway, dan kemudian dengan taksi hanya untuk memberikan Chanyeol makan malam. Ia selalu memastikan masakan terasa enak dan sesuatu yang mungkin Chanyeol inginkan,  ia menemukan indra keenam untuk hal itu setelah menikah hampir selama dua tahun.

Chanyeol mencoba pulang ke rumah saat akhir pekan seperti yang telah mereka sepakati, tapi ia menemukan kelelahan menggerogotinya saat akhir minggu dan tidak mengijinkannya melakukan apapun dengan cukup baik. Jadi, setelah beberapa kali usaha dan sebagian kecil berhasil, Baekhyun tersenyum padanya dan mengatakan bahwa tidak masalah untuk tinggal di kota dan Chanyeol tidak perlu memaksa dirinya untuk pulang ke rumah. Awalnya Chanyeol ragu menerima sikap baik Baekhyun itu, tapi akhirnya ia mulai menghabiskan akhir pekan di kota. Dan walaupun apartemen itu seharusnya hanya digunakan untuk saat sulit ketika ia tidak bisa pulang ke rumah, Chanyeol mulai melakukan itu secara rutin setiap minggu hingga berbulan-bulan sejak terakhir ia menginjakkan kaki di rumah milik mereka berdua. Dengan kata lain, surga kecil mereka menjadi kabur dalam ingatannya, tergantikan dengan fungsi praktis yang ditawarkan apartemen dengan sebuah kamar tidur besar: kenyamanan.




Di sisi Baekhyun, ia semakin jarang mengunjungi apartemen karena deadline novel pertamanya. Ia meluangkan waktu dan mencoba menghubungi Chanyeol melalui telepon atauvideo call jika ia bisa, tetapi seperti hal lainnya, saat-saat itu berkurang. Ketika Chanyeol sedang bekerja di kantor, Baekhyun sedang tidur setelah menulis dan merencanakan tulisan hingga subuh ketika ia akhirnya tertidur di tempat tidurnya, sendiri.

Dan saat-saat langka ketika Baekhyun beruntung saat menghubungi Chanyeol, percakapan mereka selalu singkat dan tidak ada yang spesial. Bekerja lembur, membuat semuanya hambar dengan pertanyaan yang biasa seperti ‘Apa kabarmu?’ dan ‘Apakah kamu sudah makan?’. Pembicaraan-pembicaraan di telepon ini tetap selalu singkat karena fakta sederhana—mereka berdua tahu bagaimana masing-masingnya perlu tidur atau bekerja.

Satu malam ketika Baekhyun rebahan sendirian di tempat tidur mereka tanpa apapun untuk dilihat kecuali bulan yang bersinar menembus jendela dan lambaian lembut tirai tipis, ia berpikir tentang keputusan mereka. Ia merenungkan apa yang telah terjadi. Ia merasa keretakan di antara mereka. Jarak bukanlah masalah yang sepele, tapi juga bukan tidak mungkin untuk diatasi. Kenyataan bahwa mereka jarang bertemu langsung bukanlah masalah yang sangat besar. Baginya, lebih dari itu. Jarak bukan permasalahan karena walapun mereka tinggal serumah, situasinya masih tidak akan berubah. Mereka berdua masih akan tetap sibuk satu sama lain. Masalah yang sama, hanya saja dengan situasi yang berbeda.




Kembali ketika masa kuliah, Baekhyun tertarik dengan beragam bahasa. Salah satu hal yang sering ia lakukan adalah meninggalkan pesan untuk Chanyeol dalam bahasa asing—yang ia tahu kekasih dengan otak bisnisnya itu tidak tahu bagaimana membacanya. Untuknya, itu bagian yang menarik, melihat Chanyeol mengartikan pesannya.
Baekhyun selalu memastikan pesan yang ia buat sederhana namun penuh arti. Sering kali, itu hanya berupa catatan ‘I love you’. Chanyeol, walaupun bertindak dan terlihat seperti seseorang yang dingin dan tidak peduli, akan selalu membalas kata-kata itu, namun dalam bahasa Korea, bahasa mereka berdua.




Salah satu hal yang Baekhyun dapatkan saat ia mengikuti Chanyeol di perpustakaan adalah ketertarikannya pada bilangan biner. Ketika Chanyeol duduk dan mencari materi di buku-buku referensi yang menumpuk untuk test atau kuis yang akan diadakan di salah satu kelasnya, Baekhyun memandangi mahasiwa lainnya, mengamati mereka seperti yang biasa ia lakukan karena ia lebih seperti seorang pengamat daripada pelaku. Hingga ia melihat buku salah satu mahasiswa dan ia tertarik dengan banyaknya jumlah angka satu dan nol di halaman buku itu.

Mahasiswa itu sedang menulis dalam bahasa yang Baekhyun kenali, namun matanya lebih tertuju ke buku. Perlu beberapa saat untuk ia menyadari bahwa mereka sedang menerjemahkan angka-angka itu. Selama apapun ia mengamatinya, Baekhyun tidak bisa memahami bagaimana mereka mendapatkan huruf-huruf dari dua angka positif pertama yang tampak tersusun acak—walaupun orang bisa berpendapat bahwa angka nol adalah netral.

Itulah ketika Baekhyun mundur dan berlari ke tempat Chanyeol duduk. Kemudian ia dengan cepat menanyakan kekasihnya tentang apa yang ia lihat, dimana Chanyeol menjawab dengan ekspresi wajahnya yang biasa, “Itu bilangan biner, Baek.”

Binary. Biner.

Bilangan biner sederhana, namun penuh rahasia hingga titik dimana hanya beberapa orang umum yang bisa mengerti. Bukan hanya itu, tapi mada faktor ‘cool yang menarik Baekhyun. Dengan senyuman lebar, Baekhyun berterima kasih pada Chanyeol, memcium kekasihnya yang kutu buku itu dengan cepat sebelum mengintari perpustakaan untuk mencari sesuatu yang bisa mengajarinya nilai artistik dari bilangan biner.




Hari-hari saat mereka baru menikah, di apartemen kecil mereka, mereka meluangkan hari Sabtu untuk menonton film. Suatu hari mereka menonton komedi romantis, dan suatu hari lainnya. Mereka menonton drama keluarga yang membuat mereka—lebih seringnya, Baekhyun—menangis.

Saat seperti itu, Chanyeol akan mengusap kepala Baekhyun dan memintanya untuk tidak menangis, itu hanya sebuah film dan menangis tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi. Baekhyun akan marah dan membantah, menantang Chanyeol dengan bertanya padanya apakah itu salah untuk mengharapkan hasil akhir yang berbeda. Chanyeol akan selalu menjawab, mengatakan padanya bahwa tidak ada untungnya menginginkan akhir yang berbeda dan film telah selesai dan tidak ada cara untuk mengubah itu. Baekhyun akan mulai menyebutnya manusia berhati dingin yang tidak peka, dimana Chanyeol akan mengabaikan perkataan itu, mencodongkan tubuh dan menghapus air mata Baekhyun dengan ciuman.




Saat buku pertama Baekhyun terbit, ia akhirnya merasa bebas. Ia merasa ia akhirnya bisa mengunjungi Chanyeol, namun dengan sukses yang sejalan dengan penerbitan itu, jadwal yang padat juga menanti. Suatu malam Baekhyun mengunjungi Chanyeol, mereka menghabiskan waktu dengan mengobrol hal-hal yang umum, Baekhyun masih mengatakan ‘I love you’, begitu juga Chanyeol, namun kata-kata itu tidak lagi memiliki kehangatan yang sama seperti saat-saat dulu.

Dan ketika mereka menyatukan tubuh dalam cinta malam itu, yang ada adalah sebuah kebutuhan, namun terasa dipaksakan. Keduanya merasakan itu. Mereka merasakan kerenggangan di antara mereka. Ada rasa takut di antara keduanya yang mereka isi dengan bercinta seperti yang biasa mereka lakukan, tapi semua itu tidak membantu. Chanyeol lelah. Baekhyun lelah. Namun, mereka masih menaruh usaha untuk merasakan sesuatu, meskipun keinginan untuk tidur dan beristirahat lebih kuat dibandingkan malam yang penuh nafsu dengan satu sama lainnya.




Board games adalah sesuatu yang dulu biasa mereka nikmati di Jumat malam. Ketika Chanyeol pulang ke rumah sekitar pukul enam, Baekhyun akan menyiapkan makan malam dan memilihboard game untuk mereka mainkan. Setelah makan, mereka menggosok gigi, dan dengan sedikit dorongan, mereka akan  mengeluarkan permainan dan memulainya. Terkadang ada taruhan. Suatu waktu, mereka bermain monopoli. Setiap Chanyeol membeli salah satu aset Baekhyun, pria yang berpostur lebih kecil itu harus melepaskan sesuatu. Chanyeol—sebagai ahli di bidang bisnis—selalu bermain dengan penuh strategi dan menyebabkan Baekhyu tidak berpakaian sama sekali di tiga puluh menit awal permainan.

Permainan mereka itu tidak pernah lama. Derit ranjang akan selalu bertahan lebih lama dibandingkan permaina. Dan ketika mereka selesai, Chanyeol akan berbisik, “Aku menang.” Baekhyun menyeringai, menarik tubuh mereka lebih dekat dan menggelengkan kepala.

“Tidak. Aku menang,” ucapnya, mencium Chanyeol dalam-dalam. “Kau milikku. Selamanya.”




“Aku memiliki acara book sign akhir pekan ini, Yeol,” ucap Baekhyun, tersenyum melaluiwebcam.
Chanyeol tersenyum balik dengan sebuah senyuman yang terlihat lelah. “Sungguh, sekarang. Bukumu sukses?”

Mengangguk, Baekhyun meringis, “Iya, lumayan berada di urutan yang tinggi untuk penulis baru. Aku sangat  senang tentang itu.”

“Selamat, Baek.”

“Terima kasih, Yeol.” Ada keheningan di pembicaraan mereka beberapa saat. “Jadi, apakah kau akan datang? Kumohon?”

Chanyeol membuka mulutnya, ragu. Ia tahu besar kemungkinan ia tidak bisa datang, dan ia tidak tahu kenapa ia justru mengatakan, “Tentu.”

Di luar sepengetahuan Chanyeol, mata Baekhyun berbinar. “Belilah bukunya! Akan aku tanda tangani untukumu!” candanya. Mereka kemudian melirik ke arah jam. “Ah, aku harus pergi sekarang,” ucap Baekhyun sambil menguap.

Chanyeol menahan diri untuk menguap juga. “Baiklah. Bye.”

Bye,” ucap Baekhyun sambil mengangguk. “Oh, apakah kau pulang k erumah akhir pekan ini?”
“Baek, aku—”

Bersembunyi di balik senyuman, Baekhyun melambaikan tangan. “Tidak apa-apa! Aku sudah tahu jawabannya, jadi kamu tidak perlu mengatakan apapun. Aku mengerti…  meskipun, kau sebaiknya pulang lain waktu. Aku menanam beberapa bunga yang cantik di halaman.” Melihat wajah Chanyeol, Baekhyun tahu bahwa pria itu tidak tahu bagaimana menanggapi perkataannya. Merasa ia telah membuat Chanyeol tidak nyaman, Baekhyun mengubah suasana, walau itu dengan wajah terpaksa.

“Aku akan memotonya untukmu, okay?”

Okay.”
Bye, ChanyeolI love you.”

Chanyeol diam sesaat. “Bye, Baek.”

Baekhyun menunggu kata ‘I love you’ yang biasa mereka ucapkan, tapi setelah dua detik, Ia mengangguk dan keluar dari chat room. Ia berpikir Chanyeol hanya terlalu lelah untuk mengingat; ia terlalu lelah untuk mengingat tiga kata sederhana itu.




Baekhyun memiliki kebiasaan mengukir di pohon. Kembali ketika Chanyeol biasanya memiliki waktu luang di akhir pekan, mereka akan meninggalkan apartemen dan pergi ke taman. Itulah dimana Baekhyun menggunakan benda tajam untuk mengukir inisial nama mereka di batang kayu. Chanyeol akan memperhatikan sekitarnya, khawatir pihak yang berwajib akan menangkap pasangannya yang agak aneh itu karena merusak sebuah pohon, walaupun ia melakukan itu untuk cinta.





Di acara tanda tangan, keramaian orang mulai terlihat, tapi tidak peduli seberapa sering Baekhyun melongokkan kepala, ia tidak melihat giant-nya dimana pun. Ia pikir mungkin pria itu agak terlambat. Baekhyun melanjutkan kegiatannya hari itu, memberikan tanda tangan untuk penggemar dengan bahagia dan pengujung yang penasaran yang tertarik untuk mendapatkan buku yang ditanda tangai oleh orang yang mugkin terkenal. Ia berharap dan memegang janji Chanyeol dalam hati, tapi seiring dengan keramaian yang berkurang dan Chanyeol masih tidak terlihat, hati Baekhyun sedikit hampa.
Ia tahu tidak seharunya memasukkan itu dalam hati. Chanyeol sibuk, ia tahu itu. Tapi ia juga tahu Chanyeol tidak membuat janji yang tidak bisa ditepati, nyatanya pria itu mengatakan ia akan datang.




Pada video call selanjutnya, Baekhyun tidak mencoba terlihat bahagia, karena ia tidak. ‘Kecewa’ kata yang menggambarkannya, tapi ia tidak ingin mengungkapkan itu karena Chanyeol sibuk. Ia memiliki alasan untuk tidak datang ke suatu acara bodoh seperti book signing. Tapi iyu bukanlah hanya acara yang ‘bodoh’ untuk Baekhyun. Ia acar apertamanya dan ia harap Chanyeol berada di sana, tapi pria itu tidak ada, dan itulah kenyataannya.

Chanyeol terlalu lelah untuk melihat apa yang salah. Ia meminta maaf, tapi suasana hati Baekhyun tidak tampak membaik walaupun ia mengatakan ia baik-baik saja. Hasilnya, itu membuat Chanyeol jengkel, ia memutuskan pembicaraan singkat mereka dan pembicaraan melalui video call cukup untuk malam itu.




Tekanan muncul seiring kesuksesan. Tidak ada lagi waktu untuk bersantai. Tidak lagi kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan orang yang mereka cintai atau menghubungi teman-teman. Waktu tidak lagi memberikan kesempatan untuk saat-saat yang akrab dan hangat. Waktu hanya memberikan kesempatan untuk satu hal—bekerja.




Seperti foto-foto tua, hubungan mereka mulai berubah. Seperti foto yang buram yang awalnya cerah dan jelas, hubungan mereka menjadi membosankan dan datar. Mereka menjadi orang asing dalam pernikahan mereka sendiri, sering kali melupakan saat-saat yang biasa mereka lakukan bersama ketika semuanya lebih sederhana.
Telepon menjadi semakin berkurang. Pesan menjadi singkat. Kunjungan menjadi jarang. Dasarnya mereka telah merasa lelah.




Dua tahun sebelas bulan pernikahan, Chanyeol berdiri di kamar tidurnya, menatap sosok sempurnanya yang terpantul di cermin. Ia membetulkan kancing dan menyempurnakan rambutnya. Ia melihat jam dan menyadari ia  memiliki jadwal, tanpa waktu luang sejenak saja. Mengesampingkan jam kerjanya yang rutin, ia tidak bisa menolak keinginan—duduk di tepi ranjang, dengan hembusan nafas berat menatap dinding kamarnya.

Hatinya terbebani dan itu perlu berminggu-minggu—mungkin sebulan—untuk menyadari permasalahannya. Itu tidak pasti. Ia berkecamuk dengan pemikiran mengerikan tidak lagi saling mencintai dengan Baekhyun, namun seiring hari-hari yang berlalu, ia menemukan bahwa ia tidak bisa mengelak kenyataan itu lebih lama.

Ia merasa kesepian, tapi Baekhyun terlalu jauh untuk dijangkau. Chanyeol tahu ia masih mencintai penulis berambut coklat itu, yang kadang ia lihat di media cetak maupun online, tapi ia tahu ia tidak merasakan seperti yang ia rasakan dulu. Mereka tidak bercinta lagi berbulan-bulan ini. Baekhyun jarang mengunjunginya. Kencan saat malam tidak lagi ada, karena itu tidak mungkin mengingat jadwal mereka.

Kenyataanya, semakin Chanyeol memikirkan hal itu, ia lebih banyak melihat Baekhyun melaluivideo call yang singkat  dan tidak rutin disbanding melihatnya secara langsung.
Ia menoleh—menatap ranjang yang kosong. Ia merindukan itu. Ia merindukan rasa saling tertarik, apa yang biasa mereka lakukan—semuanya. Jarak adalah satu hal.  Keterpisahan adalah hal lainnya. Kurangnya komunikasi memberi pertanda sebuah akhir, tapi perasaan berat di hati Chanyeol-lah yang membawa palu ke atas balok.





Terkadang Baekhyun berpikir untuk pindah hati, namun hatinya tidak mengijinkan. Ia masih mencintai giant-nya walaupun kenyataannya setiap malam ia pulang ke rumah ‘mereka’ yang tenang hanya untuk merebahkan tubuh di ranjang dengan sisi yang kosong dan dingin. Ia merindukan malam-malam ketika mereka terjaga hanya untuk saling membisikkan kata-kata. Ia merindukan board games, pepohonan dan film. Satu hal yang terkadang membuatnya mampu melewati hari adalah foto di hari pernikahan mereka.







Chanyeol diharuskan menghadiri pesta Natal tahunan perusahaan untuk keperluan penampilan dan ia terpaksa menolak ajakan Baekhyun untuk pulang ke rumah selama liburan. Seperti biasa, Baekhyun mengatakan ia memahaminya dan kemudian menutup sambungan telepon. Kurangnya perbedaan pendapat dan sikap tenang Baekhyun mengganggu Chanyeol. Ia berpikir, mungkin jika Baekhyun berusaha lebih keras meminta waktunya, Chanyeol akan mengatakan iya. Namun kemudian ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tidak bisa berkata iya. Dia sibuk.

Dengan hubungan yang hampa dan dingin seperti cuaca saat itu, Chanyeol pindah hati. Dengan minuman di tangan dan senyuman di wajah, ia mengangkat pandangan. Disana, di pesta Natal tahunan ia bertemu Kyungsoo.




Selama salah satu waktu terberat saat Chanyeol menghadapi minggu penuh ujian akhir, Baekhyun akan merayu teman sekamar Chanyeol, Kris, untuk mengijinkannya masuk ke kamar mereka di pagi buta ketika Chanyeol memiliki jadwal ujian. Baekhyun meletakkan tiga buah permen kesukaan Chanyeol di dekat buku pelajarannya sebelum berjinjit menghampiri Chanyeol dan dengan pelan meletakkan sticky note di kepalanya. Baekhyun tertawa pelan sebelum berjalan mundur dan diam-diam meninggalkan ruangan.

Ketika Chanyeol terbangun tiga puluh menit kemudian karena bunyi alarm, hal pertama yang ia lihat ada kertas yang tertempel di dahinya—menahannya untuk mengusap mata. Ia melepaskan kertas itu, meengerjapkan mata dan melihat lebih dekat tulisannya. Ia memfokuskan mata   dan menyadari bahwa yang tertulis bukanlah huruf, melainkan angka-angka satu dan nol.

“01000111 01101111 01101111 01100100 00100000 01101100 01110101 01100011 01101011 00100000 01101111 01101110 00100000 01111001 01101111 01110101 01110010 00100000 01100101 01111000 01100001 01101101 01110011 00101100 00100000 01100111 01101001 01100001 01101110 01110100 00100001”

Mata Chanyeol tertuju pada bagian bawah kertas dan melihat ke pesan paling bawah.

“01001001 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 00100000 01111001 01101111 01110101 00100001.”

Walaupun ia baru saja bangun, Chanyeol menyempatkan diri untuk menerjemahkan pesan itu. Pagi itu sambil berjalan menuju kelas, ia dengan cepat menyalin angka-angka itu ke ponselnya.
Menggunakan penerjemah, ia membaca apa yang ditulis Baekhyun untuknya.

“Good luck on your exams, giant!”

Terakhir, Chanyeol menerjemahkan pesan singkat di paling bawah kertas.

“I love you!”




Natal berlalu dan yang ada hanyalah sebuah kartu untuk Baekhyun. Hadiah sederhana juga dikirim. Baekhyun tidak tahu apa yang harus dikirim, jadilah ia mengirimkan tiga buah permen.




Harusnya terasa salah dan mungkin benar itu salah, namun seiring berjalannya waktu, ketertarikan sebatas rekan kerja berkembang. Awalnya hanya berupa lirikan polos, kemudian berkembang menjadi sesuatu yang lebih bersifat kontak fisik—dimulai ketika Kyungsoo mengambil langkah dan menyentuh bibir Chanyeol dengan bibirnya.

Dan ketika Chanyeol merebahkan tubuh Kyungsoo di ranjangnya, ia mengabaikan suara di dalam kepala yang terus mengatakan Kyungsoo tidak seharusnya berada disana. Suara itu terus mengatakan padanya bahwa ranjang Baekhyun juga ranjangnya, tapi tidak pernah menjadi ranjang Kyungsoo. Untuk ini, Chanyeol mengabaikan kesadarannya, beralasan bahwa Baekhyun tidak lagi di sana, bahwa mereka sudah saling menjadi orang asing dan bahwa ia menginginkan sesuatu yang lebih—sesuatu yang bisa diberikan Kyungsoo dan Baekhyun tidak bisa.

Tepat sebelum Kyungsoo mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Chanyeol, ia mengambil tangan Chanyeol dan melepaskan cincin pernikahan, melemparnya ke sisi ruangan dimana cincin itu jatuh dengan diam di lantai.




Pada akhir musim semi rasa sakit mendera Baekhyun. Ia mulai menyadari itu ketika ia mulai sering sakit kepala dan rasa sakit itu tidak hilang. Ia juga menyadari tubuhnya menjadi sering lelah. Setelah dua minggu mengatasi itu dengan pil obat, ia ambruk. Tidak ada banyak pemikiran tentang apa yang salah dengan dirinya dibandingkan dengan pemikiran bahwa itu hanya sakit kepala dan masalah itu akan segera pergi dengan sebutir pil dari dokter.
Ia tidak mengharapkan apapun dan keluar dengan perasaan seolah-olah seluruh dunia di pundaknya, juga membebani hatinya.




Mereka mengatakan padanya bahwa ia memiliki jadwal CT scan lusa, untuk sekali itu, Baekhyun benar-benar tidak ingin melakukan itu sendiri. Orang pertama yang muncul di benaknya adalah Chanyeol, suaminya dan juga sandarannya. Dengan cepat menggunakan subway, Baekhyun menuju apartemen Chanyeol, menahan tangisnya dan mencoba terlihat kuat.

Setelah masuk ke dalam taksi, ia hanya diam membeku ketika sopir taksi menanyakannya alamat yang dituju. Ia menyadari bahwa di saat itu ia tidak tahu. Ia tidak sadar. Ia mencoba mengingat ulang, tapi ia tidak bisa mengingat alamat yang dulunya ia ketahui dengan pasti dan jelas. Bingung dan kecewa, tidak bisa menjelaskan hilngnya ingatan yang tiba-tiba dan sementara, Baekhyun keluar dari taksi dan memilih untuk berlari, karena tidak seperti sebuah alamat, ia mengingat kenangan yang kabur—jalan dan sudut dimana dulu ia belok.

Ia memiliki harapan bahwa mungkin mereka akan berdamai dan memperbaiki hubungan atas waktu satu tahun yang jelas-jelas hilang. Baekhyun berharap dan ia membayangkan, tapi ketika matanya melihat Chanyeol keluar dari apartemen dengan menggenggam tangan seseorang dan senyum yang begitu bahagia di wajah mereka, Baekhyun berhenti dan menyaksikan semua harapannya hancur berantakan.

Dan seperti sakit yang ia rasakan beberapa minggu belakangan, matanya perlahan berair, merembes keluar hingga ia tidak mampu lagi menahan semua itu. Dengan lutut gemetar dan pandangan yang kabur oleh air mata, ia mengambil langkah mundur dan berbalik arah. Sendiri.




Bulan keenam di tahun itu, di awal musim panas, Kyungsoo duduk di ranjang Chanyeol, menunggunya selesai mandi. Cincin pernikahan Chanyeol di tangannya, dan Kyungsoo terus mebolak-balik cincin itu, memeriksa setiap detail. Cukup lama bagi Kyungsoo untuk terhibur dengan apa yang ia lakukan ketika Chanyeol kembali ke kamar.

“Apa yang kau lakukan disana, Kyungsoo?” tanya Chanyeol dengan senyum kecil.

Sambil mengangkat bahu, Kyungsoo masih memasang ekspresi wajah tenang, “Aku hanya sedang berpikir—sebenarnya, aku telah memikirkan hal ini beberapa waktu, sungguh.”

Sambil menutup resleting celana dan mengambil kemeja, Chanyeol menatap Kyungsoo, “Apa yang ada dalam pikiranmu?” Ia mendesah ketika melihat cincin di tangan pria itu, “Kyungsoo.”

“Chanyeol, kenapa kau tidak menceraikannya saja?” Kyungsoo meledak.

“Kyungsoo, dia—”

“Kalian sudah menjadi asing satu sama lain untuk waktu yang lama,” ujar Kyungsoo. “Hubungan kalian telah lebih dari sekedar mati ketika aku bertemu denganmu. Kenapa kau mempertahankan sesuatu ketika tidak satupun di antara kalian saling peduli lagi?”

“Aku hanya tidak bisa memberinya surat cerai begitu mendadak,” bantah Chanyeol. “Setidaknya ia memerlukan beberapa pemberitahuan.”

Berikan dia pemberitahuan itu,” ucap Kyungsoo, menggenggam cincin di telapak tangannya. “Sebenarnya kau bisa membayar pengacara untuk mengatarkan dokumen perceraian kepadanya. Itu pemberitahuan yang cukup, kan?

“Itu—”

“—Chanyeol.” Kyungsoo memelototinya. “Lebih baik mengakhirinya sekarang, kau tahu. Jadi kita bisa benar-benar memiliki awal yang baru. Kemudian kau dan aku bisa menikah dan kalian berdua bisa pindah ke lain hati. Kau bersamaku sekarang, mari kita hadapi itu. Dia juga mungkin memiliki orang lain”

Tenggorokan Chanyeol seperti  tercekik membayangkan Baekhyun memiliki pria lain. Sulit untuk dibayangkan dan itu tepat menusuk satu titik dalam dirinya. “Kyungsoo…”

“Aku mencintaimu, Chanyeol, dan aku tahu kau mencintaiku juga,” lirih Kyungsoo. “Jadi lakukanlah, kumohon. Untuk kita. Untuk dia. Untuk kita semua.”




Pada Senin malam, Baekhyun menyelinap ke kamar asrama Chanyeol dan menaiki ranjangnya. Chanyeol protes, tapi ujung-ujungnya ia melingkarkan lengan di tubuh kekasihnya yang mungil, dan Kris akan terbangun keesokan pagi dengan tambahan teman sekamar.




0:00:01
Chanyeol berdiri di luar rumah yang dulu ia tinggali dengan Baekhyun untuk beberapa waktu yang singkat. Ia mengingat semua janji yang ia buat dan harapan-harapan dan juga mimpi-mimpi yang mereka miliki, tapi saat itu, masa lalu seperti itu hanyalah debu untuknya, karena itu adalah hal-hal yang tidak ia pikirkan selama beberapa bulan belakangan. Mengumpulkan keberaniaannya, ia mengangkat tangan dan mengetuk pintu. Ia berharap pintu terbuka dan disambut oleh Baekhyun.

 Cukup lama dari yang ia pikirkan dan orang yang membuka pintu bukanlah calon mantan suaminya.

“Hello.”

Gadis muda berwajah ceria membuka pintu dan tersenyum padanya. “Hi.” Setelah diam sejenak, ia bertanya,”Aku tebak kamu Chanyeol.”

Chanyeol mengangguk—mengiyakan, “Iya.”

“Masuklah,” ucapnya sambil beralih dari depan pintu. Ketika Chanyeol sudah di dalam, ia menutup pintu di belakang, “Ngomong-ngomong, aku Luna.”

“Senang bertemu denganmmu,” ucap Chanyeol sambil mengulurkan tangan.

“Terima kasih!” sahutnya ceria sambil menjabat tangan. “Baekhyun akan turun sebentar lagi.”

Kemudian dengan nada lebih lembut dan wajah sedih ia berkata, “Ia mengharapkan kedatanganmu.”

Menyakitkan bagi Chanyeol mendengar kata-kata itu, tapi ia tidak bisa mengelak kebenarannya. Ia sudah mengajukan perceraian dan ia yakin Baekhyun sudah mendapatkan pemberitahuan dua minggu sebelumnya. Tentu Baekhyun menunggunya. Berdiri di beranda sedikit membuatnya gugup, membayangkan bagaimana respon Baekhyun. Ia membayangkan Baekhyun meneriakinya, menangis tersedu.


Tapi bayangan itu ia hentikan ketika ia mendongak ke arah tangga dan Baekhyun sedang menuruni anak tangga. Chanyeol menangkap senyuman yang pernah membuat jantungnya berhenti berdetak—dan itu masih terjadi. Chanyeol berdiri di pintu masuk, hati berdebar dan jantung seakan berhenti berdetak karena Baekhyun. Ia menghentikan perasaan itu dan perlahan menghampiri Baekhyun,

“Hei.”

Berjalan ke arah suaminya, Baekhyun merentangkan lengan. Tanpa menunggu Chanyeol untuk bergerak terlebih dahulu, ia memeluknya, sebelum melepaskan pelukan di waktu yang tepat,

“Hi, giant.”
Chanyeol mengatupkan bibir. Ia tidak mau lagi dipanggil ‘giant’. Itu membawanya ke banyak hal yang akan membuatnya sulit melakukan tujuannya berada di tempat ini. “Jangan panggil aku seperti itu lagi, Baek.”

Dengan mulut sedikit terbuka, Baekhyun mengangguk mengerti. “Maaf,” ucapnya dengan tawa.

“Aku lupa kita akan bercerai. Tentu.” Sambil menepuk lengan Chanyeol, Baekhyun berbalik dan menunjuk ke sebuah ruangan, “Kita berbicara di ruang keluarga saja, ya? Luna, bisakah kau membuatnkan teh untuk Chanyeol? Aku air putih saja.”

“Apakah kau ingin dengan lemon, Baek?” tanya gadis itu.

“Tidak. Itu saja.”

“Aku mengerti,” ujar Luna sambil berjalan ke dapur.

Chanyeol memperhatikan gadis itu pergi, penasaran dengan hubungan gadis itu dan Baekhyun. Dalam benaknya kata-kata Kyungsoo menggema. Mungkin Baekhyun menemukan seseorang, sama seperti ia menemukan Kyungsoo. Keduanya menemukan orang yang membuat mereka nyaman.
Setelah duduk, Chanyeol mempelajari wajah Baekhyun, “Kau terlihat sedikit… lelah, Baek. Tidurmu cukup, kan?”

Perlu beberapa saat untuk Baekhyun mengangguk dengan senyuman, “Aku hanya bekerja terlalu keras akhir-akhir ini. Itu saja.”

“Okay…” Chanyeol menghela nafas sedetik sebelum membuka tasnya, “Seperti yang kamu ketahui, aku datang dengan dokumen untuk kau tanda tangani.”

“Tentu saja.”

“Tidak akan memakan banyak waktu.”

“Aku tahu.”

“Aku berusaha agar ini tidak terlalu menyakitkan untukmu, Baek.”

Baekhyun tertawa pelan. “Itu tidak pernah tidak menyakitkan.”
Chanyeol menatap mata Baekhyun, “Maaf…”

“Aku baik-baik saja…”

Tidak sanggup lagi dengan suasana itu, Chanyeol melanjutkan tujuan awalnya. Ia mengeluarkan dokumen dan menyodorkannya ke arah Baekhyun, yang duduk di seberangnya. Chanyeol memperhatikan Baekhyun bergerak agak lambat, tapi ia menganggap itu hanya karena ia takut menghadapi kenyataan yang tertera dalam dokumen itu.

Ketika Baekhyun mengambil dokumen itu dan membacanya, Chanyeol membuka suara, “Kau pasti tahu kita berdua menginginkan ini. Itu artinya kau juga bersedia datang ke pengadilan dan pertemuan untuk mendiskusikan pembagian semuanya. Tapi, Baek, rumah… rumah ini akan tetap untukmu, aku menjanjikanmu itu.”

“Kau berjanji padaku?”

“Iya.”

“Kau juga menjanjikan beberapa hal saat di altar,” ucap Baekhyun lembut—lebih terdengar seperti bisikan. “Tapi disini kita sekarang.” Tidak ingin suaminya memikirkan itu, Baekhyun mengalihkan topik pembicaraan, “Jadi dimana aku harus tanda tangan?”

“Di paling bawah halaman,” sahut Chanyeol. Ia merogoh saku. “Kau butuh pulpen?”

“Iya.”

Jari mereka bersentuhan ketika Chanyeol memberikan pulpen, dan ia menyadari suhu tubuh Baekhyun, “Kau flu?”

“Tidak, aku baik-baik saja.”

“Tapi tanganmu biasanya tidak sedingin ini. Tanganmu hangat.”

“Aku senang kau mengingatnya.”

Semenit berlalu dan Chanyeol melihat Baekhyun memegang pulpen, namun belum melakukan apapun, “Baek—“

“Hei, Chanyeol,” ucap Baekhyun riang, memadangi pria di depannya dengan senyuman yang mampu membuat Chanyeol merasakan kembali hari-hari saat mereka kuliah. “Boleh aku meminta sesuatu padamu?”

Mengetahui apa yang telah dialami Baekhyun karena dirinya, Chanyeol mengangguk, “Tentu. Apapun itu.”

Baekhyun tetap menatap Chanyeol dengan lembut sebelum bertanya, “Tinggallah bersamaku selama seminggu.”

“Baek—”

“Chanyeol, kumohon.”

“Aku tidak bisa.”

“Kenapa Yeol?”

“Karena Kyungsoo.”

Baekhyun menahan nafas. Ia tahu tentang Kyungsoo. Ia tahu tentang pria yang mengangkat teleponnya ketika ia menelepon Chanyeol. Tapi tetap saja, ia masih tidak bisa menepis rasa sakit di dadanya, “Hanya seminggu…”

“Seminggu itu terlalu lama.”

“Kita telah menikah selama hampir empat tahun, Yeol,” ucap Baekhyun dengan senyum sedih.

“Hanya satu minggu yang aku minta, giant.”

Walaupun suasana menjadi hening, ada satu ketenangan di ruangan itu. Baekhyun membuang pandangan, namun ia terlihat tenang dan jujur ketika menjawab pertanyaan Chanyeol. Sorot lelah di matanya membuatnya terlihat tenang dan polos, sesuatu yang tidak bisa  Chanyeol abaikan.

“Aku tidak mengharapkan apapun terjadi…” ucap Baekhyun perlahan sambil menautkan jari jemarinya. “Selama seminggu, aku hanya ingin kau berpura-pura, Yeol,” ucapnya dengan suara bergetar. “Aku ingin kau mencintaiku seperti yang kau lakukan dulu…”

“Baek—”

Dengan segaris senyum sedih di wajah, Baekhyun mengangkat tangannya, “Aku bilang ‘berpura-pura’. Ingat itu, giant.” Ia tertawa kecil. “Kau tidak harus jatuh cinta padaku. Aku sudah tahu kau tidak merasakan hal itu lagi. Aku hanya ingin kau berpura-pura. Aku tidak akan meminta lebih darimu. Ini akan menjadi janji terakhir yang kau pegang untukku…”




1440
Rasanya canggung berada di rumah itu lagi, terlebih harus tidur dalam ruangan yang berbeda—bukan yang biasanya ia tempati dengan Baekhyun dulu. Sambil berbaring diatas ranjangnya malam itu, dia merenungi situasinya. Dia pikir, bila Tuhan menghukumnya saat ini juga, dia pantas menerima itu atas semua hal yang sudah dilakukannya. Hatinya masih terasa berat dan janggal, mengingat dia tahu-tahu saja datang membawa berita cerai untuk Baekhyun setelah berbulan-bulan lamanya tidak menghubungi. Pikirannya menarik kesimpulan bahwa sudah tidak ada jalan lain lagi bagi mereka. Chanyeol menemukan jalan baru, sama halnya dengan Baekhyun.

Chanyeol memutar kepalanya ke samping, menatap keluar jendela. Hamparan bintang di langit menarik perhatiannya, membuatnya berpikir hal apa lagi yang tidak terlihat olehnya karena tinggal di kota.




Hal yang mengganggu Chanyeol adalah masalah pakaian; dia tidak membawa satu helaipun, dia tidak menduga dirinya akan berada di rumah ini lebih lama dari perkiraannya. Ketika dia memberi tahu  Baekhyun perkara ini, si lelaki kecil tersenyum dan meyakinkannya untuk tidak perlu khawatir. Saat waktu sudah mulai larut, Baekhyun membawa Chanyeol menuju kamar tamu, dekat kamar yang dulunya mereka gunakan. Ia pergi sebentar, lalu kembali dengan tiga lembar pakaian di lengannya sementara Luna—yang mengikutinya dari belakang—membawa dalam jumlah lebih, termasuk bawahan piyama, celana pendek, dan kaus.

“Aku tidak bisa membawanya sendirian,” jelas Baekhyun. “Mereka terlalu berat untukku.”
Chanyeol beralih menatap tumpukan baju yang dibawa oleh keduanya, yang sekarang berada diatas ranjang. “Kelihatannya tidak berat.”

“Bagiku iya. Seberat ton,” timpal Baekhyun pelan.

Ketika Baekhyun keluar mengikuti Luna dan mengucapkan selamat malam pada Chanyeol, dia melantunkan sebuah urutan angka. Chanyeol mengabaikannya, menyerah karena dia tidak bisa mengeri biner. Tapi semakin lama dia berada disana, makin besar pula rasa penasaran yang melahapnya bulat-bulat. Matanya bergulir kembali pada tumpukan baju, lalu dia berusaha mengumpulkan semua dan mengangkatnya.

Tidak, tidak berat.




Berkebalikan dengan situasinya saat ini dan Kyungsoo yang memarahinya lewat pesan singkat tadi malam, Chanyeol terbangun dengan hati yang tenang. Padahal dia tidak tahu kenapa. Mungkin karena dia bukan berada di kota dan, untuk pertama kalinya, dia terlelap tanpa suara bising mobil dan klakson. Atau mungkin karena rumah ini sendiri, Baekhyun membuat tiap ruangan menjadi hangat dan nyaman.

Chanyeol hanya menghabiskan waktu sebentar untuk mandi dan berganti dengan baju pinjaman Baekhyun. Baru ketika matanya mendelik pada cermin, dia menyadari bahwa pakaian ini adalah miliknya yang ia tinggalkan dulu.

Rasa pahit mulai menghantuinya. Mungkin Baekhyun sengaja melakukannya, walau Chanyeol tahu kemungkinannya kecil. Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam kepalanya, mencoba menerka mengapa Baekhyun masih menyimpan semuanya. Semua pakaiannya yang tua. Yang tidak pernah dia pakai lagi. Yang ditinggalkannya.

Mengapa Baekhyun tidak membuangnya?

Makin lama menatap cermin, Chanyeol makin sadar bahwa inilah gambaran dirinya yang dulu. Konyol, beberapa baju usang dan rambut tidak tertata bisa membuatnya terlihat seperti tiga tahun lalu. Tapi kontras dengan apa yang dirasakannya, ini tidak konyol. Ini menyakitkan, mungkin sebuah bentuk dari rasa bersalah. Chanyeol tidak tahu. Dia hanya ingin bergegas melewati enam hari di rumah ini dan pulang.




Chanyeol merasa kikuk. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, walau Baekhyun hanya memintanya untuk berpura-pura. Bagaimana caranya berpura-pura? Jawabannya tidak pernah ada.
Waktu sarapan tidak berjalan begitu baik, rasanya canggung. Tapi Baekhyun sudah mencoba, mendesak Chanyeol untuk ikut berusaha juga. Luna membuatkan kopi untuk mereka. Baekhyun meminta kopi hitam untuk Chanyeol dan susu untuk dirinya. Chanyeol menatapnya nanar, dan Baekhyun hanya mengangkat bahu sambil tersenyum malu-malu.

“Aku masih ingat,” ujarnya. Dia membuka mulutnya lagi untuk bicara, ingin Chanyeol tahu bahwa dia masih sering mengingat-ingat hal kesukaannya agar dia tidak pernah lupa. Tapi pada akhirnya, dia merapatkan bibir dan hanya mengulas senyum.




“Ada pohon tidak jauh dari sini, Chanyeol,” tutur Baekhyun ketika Luna tengah membereskan sarapan mereka.

“Apa yang akan kau lakukan?”

Untuk beberapa saat, Baekhyun menatap Chanyeol dengan kosong, sebelum akhirnya dia tersenyum lembut padanya. “Aku ingin mengukir sesuatu.”

Ketika itu, Chanyeol mengingat sesuatu. Dia hapal hobi lama Baekhyun, menulis inisial nama mereka diatas batang pohon—agar seluruh dunia bisa lihat, katanya. Chanyeol mengerutkan dahinya. “Baek—“

“Ayo pergi, Chanyeol.”

“Jangan lakukan ini.”

Baekhyun terhenyak. Senyumnya hilang untuk beberapa saat. “Kita hanya pura-pura, ingat?”
Kata kuncinya adalah ‘berpura-pura’. Chanyeol tidak tahu mengapa Baekhyun mau melakukan hal sekeji ini, berpura-pura ketika keduanya tahu bahwa yang mereka lakukan bukanlah hal yang nyata. Dia tahu semua ini melukai Baekhyun. Tetap saja, ini hanya berlaku untuk satu minggu dan ini
adalah satu-satunya syarat dari Baekhyun sampai dia menandatangani surat cerai itu. Chanyeol tidak punya pilihan lain, akhirnya dia mengangguk mengiyakan.

“Baiklah.”




Selama masa singkatnya disini, dia menyadari Baekhyun menjadi lebih lambat dalam melakukan apapun. Kadang-kadang Baekhyun butuh waktu lama untuk mencerna hal yang rumit, dan Luna selalu membantunya ketika ia mengerjakan sesuatu yang berat.

Chanyeol masih belum tahu apa relasi Baekhyun dengan Luna. Dia tidak tahu apa gadis itu hanya penjaga rumah, pelayan, atau kekasih—walaupun ‘kekasih’ tidak masuk akal menilik hubungan keduanya yang seperti kakak dan adik. Chanyeol tidak bisa menebak jawabannya, tapi dia tahu ada alasan dibalik sikap protektif Luna terhadap Baekhyun.

Sambil menunggu di teras, dia menangkap suara Baekhyun dan Luna tidak jauh dari sana. Meski tidak mau, Chanyeol terpaksa menguping.

“Kau yakin mau berjalan sejauh itu?” telinganya menangkap nada resah dalam suara Luna.
“Aku sering kesana. Aku akan baik-baik saja.”
“Itu kan sebelum…”
“Aku tidak apa-apa. Ada Chanyeol.”

Percakapan mereka berhenti sampai sini. Setelah itu, Chanyeol melihat Baekhyun berjalan ke arahnya. Di belakang, Luna berusaha memasang wajah senang, walau Chanyeol bisa melihat raut gelisah disana.




Mereka berjalan selama sepuluh menit diatas jalan setapak sampai akhirnya melihat pohon yang dimaksud oleh Baekhyun. Diantara hamparan sayuran dan pohon-pohon lain, Baekhyun menunjuk sebuah pohon yang paling besar.

Chanyeol mengamati Baekhyun yang memeriksa bagian bawah pohon itu dengan riang. Dia baru duduk ketika Baekhyun mulai mengerjakan rencana kecilnya. Sambil masih memperhatikan, Chanyeol merasa hangat hanya dengan memandangi sosok mungil Baekhyun terhadap pohon raksasa yang kelewat besar. Sungguh pemandangan yang menyenangkan dan untuk pertama kalinya, Chanyeol membiarkan dirinya lengah.

Setelah lima menit berkelit dengan batang kayu yang keras, Baekhyun mengerang dan berbalik pada Chanyeol, mengulurkan pisau lipatnya. “Bisa lakukan ini untukku?”

Chanyeol mengerjap, berdiri menghampiri Baekhyun dan mengambil benda tajam tersebut pelan-pelan. “Apa batangnya susah dipotong?”

“Aku hanya sedikit lelah.”

Chanyeol meliriknya. “Apa kau tidur lelap semalam?”

Ada jeda kosong sebelum Baekhyun menjawab. “Ya…”

“Lalu mengapa kau lelah?” tanya Chanyeol, balik menatap pohon dan mengamati pisau kecil di tangannya.

“Aku sakit akhir-akhir ini…” timpal Baekhyun.

“Sudah periksa ke dokter?”

“Sudah.”

“Lalu?”

“Katanya aku hanya demam,” gumam Baekhyun, mengalihkan wajahnya. “Katanya aku akan baik-baik saja…”

“Hanya demam, eh?”
“Hanya demam.”

Chanyeol mengerutkan bibirnya dan mengacungkan pisaunya ke arah pohon. “Jadi, apa yang harus aku tulis?”

“Biner.”

Chanyeol mendengus, tapi tetap mengulum senyum lembut. “Kau selalu saja biner.”

“Kadang, angka bisa menyampaikan apa yang tidak bisa dituturkan oleh kata-kata,” ujar Baekhyun,

tersenyum balik. “Kata-kata itu bersifat kabur, sedangkan angka adalah hal yang jelas.”

Mereka berhenti beberapa saat sampai akhirnya Chanyeol bergerak dan Baekhyun menjabarkan urutan angkanya pelan-pelan. Chanyeol menghabiskan waktu satu setengah jam sampai dia selesai, dan itu tidak sia-sia. Keduanya berkelakar tentang masa lalu, membuat mereka tergelak
.
Baekhyun akhirnya tertawa untuk yang pertama kalinya, mengingatkan Chanyeol pada sesuatu saat suara itu memenuhi telinganya. Tawa ini yang membuatnya jatuh hati pada Baekhyun dulu, di masa kuliah mereka. Sekarang, ketika mendengarnya lagi, hatinya dihujam oleh banyak emosi.  Dia tidak tahu apa yang harus dia rasakan, dia hanya tahu bahwa ada sensasi hangat dalam dadanya, berdegup kencang.

Dan ketika semuanya usai, mereka berjalan kembali seiring dengan langkah Baekhyun yang pelan, meninggalkan sebuah ukiran pesan di batang pohon:

“01001001 00100111 01101101 00100000 01110011 01110100 01101001 01101100 01101100 00100000 01101001 01101110 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 00100000 01110111 01101001 01110100 01101000 00100000 01111001 01101111 01110101”

Jika saja Chanyeol mengerti angka biner, dia akan tahu apa yang berusaha disampaikan oleh deretan angka itu.

I’m still in love with you.




Malam itu, sesuatu yang hangat memanjat ranjang Chanyeol. Matanya menangkap sosok Baekhyun, berdiri membelakangi sinar bulan di sisi tempat tidur. Lalu dengan suara pelan yang lirih, Baekhyun berbisik, “Boleh aku tidur denganmu malam ini?”

Harusnya Chanyeol ragu, tapi tidak. Dia bergeser dan melipat selimutnya. “Kemari…”

Pelan-pelan, Baekhyun membaringkan tubuhnya. Dia menjaga jarak, membelakangi Chanyeol, tapi justru lelaki jangkung itu yang menariknya mendekat. Ini sebenarnya tidak perlu—tidak ada perihal kontak fisik dalam perjanjian mereka, tapi Chanyeol melingkarkan lengannya di sekitar pinggang kecil Baekhyun, membuatnya terperanjat. Baekhyun bersandar dalam dekapan suaminya, mati-matian menahan tangis dan mencoba untuk kembali tidur.




2880


Hari kedua mereka habiskan dengan menyanyi. Sudah lama Chanyeol tidak menyentuh gitar, dia terkejut ketika ternyata jemarinya masih bisa memetik senar dengan baik. Dia mengacaukan beberapa nada dan terlambat pada tempo tertentu, tapi Baekhyun tetap memberinya tepuk tangan dan sebuah senyum, memujinya karena sudah mengingat banyak hal setelah cukup lama tidak berlatih.

Sembari bermain gitar, Chanyeol juga menyanyi. Tapi Baekhyun menyanyi lebih banyak, dia mencoba melakukannya. Suaranya pecah dan dia tidak bisa mencapai nada tinggi seperti dulu. Dia terlihat kesal, namun Chanyeol menyikutnya sambil melempar senyum. Keduanya melanjutkan kegiatan mereka, Chanyeol yang memimpin dan Baekhyun yang mengiringi nyanyiannya. Tidak ada yang keberatan jika mereka bertukar bagian, suara keduanya masih selaras.
Ketika matahari turun dan bintang bermunculan, Baekhyun membawa selimutnya keluar dan mengajak Chanyeol. Di taman belakang rumah, Baekhyun menghamparkan selimut itu dengan bantuan Chanyeol.

Mereka berbaring dalam diam, memandangi bintang yang berkelip. Ketika Chanyeol berkata soal sulitnya melihat bintang di kota, Baekhyun menimpalinya dengan merujuk pada polusi.

“Mereka membuatmu tidak bisa melihat langit. Mereka mengganggu.”
“Mereka membuatku tidak bisa melihat ini tiap malam.”
“Benar…” balas Baekhyun lemah. “Begitulah.”




4320

Chanyeol tidak tahu apa sebelumnya Baekhyun seceroboh ini. Awalnya Baekhyun menjatuhkan segelas air, terlihat seperti kecelakaan tidak sengaja. Tapi ketika dia meraih gelas lain duapuluh menit kemudian dan menjatuhkannya lagi, Chanyeol merasa ada yang salah.

Ketika mereka duduk diatas lantai ruang tengah, bersiap memainkan  game yang Luna ambil dari gudang di atap, Chanyeol akhirnya bertanya. “Kau baik-baik saja, Baek?”

Sambil membersihkan papan permainan dari debu, Baekhyun mengangkat sebelah alis dan bergumam. “Ya, aku baik-baik saja.”

“Maksudku kesehatanmu,” jelas Chanyeol. “Apa benar itu hanya demam?”

“Kalau bukan itu, apa lagi?” Baekhyun mengedikkan bahu. “Aku lelah belakangan ini karena itu.”

Chanyeol merasa ada sesuatu yang janggal, tapi dia tidak mendesak lebih jauh. “Kadang aku melihatmu meminum obat,” ujarnya. “Apa itu untuk demam juga?”

Baekhyun terdiam sebelum dia mengangkat papan Monopolinya. “Ya… itu untuk demam juga. Kepalaku pening kadang-kadang.”

Sambil merapatkan bibirnya menjadi sebuah garis, Chanyeol membalasnya lagi, “Sepertinya kau harus periksa ke dokter lagi.”

“Sepertinya iya.”

Suasananya menjadi berat. Tapi begitu permainan dimulai, semua kembali ringan. Mereka tidak taruhan seperti biasanya, tidak ada yang berjanji untuk melepas baju tiap kehilangan properti, tapi semua canda tawa dan senda-gurau yang mereka lemparkan saat itu—semuanya nyata, bukan pura-pura.




5760

Pada hari keempat, mereka bergelung dalam selimut diatas sofa ruang tengah. Keduanya—bersama Luna yang duduk di lantai—menonton Titanic, salah satu film kesukaan Baekhyun. Chanyeol tahu Baekhyun pasti akan berurai air mata pada akhir cerita, tapi dia salah. Lelaki kecil yang kelewat lelah untuk tetap terjaga diatas jam sepuluh itu tertidur lelap, bersandar di pundaknya.

Baekhyun terlihat tenang dan lelap dalam kegelapan, walau hanya diterangi oleh pantulan cahaya televisi. Chanyeol pikir Baekhyun akan terbangun pegal bila terus tertidur dalam posisi ini, maka dia beranjak dari sofa dan mengangkat Baekhyun di lengannya.

Luna berdiri, juga, membuntut di belakang Chanyeol hingga dia menidurkan Baekhyun diatas ranjangnya sendiri. Setelah melepasi sepatunya dan menarik selimut hingga menutupi tubuh lelaki mungil itu, Chanyeol berbalik pada Luna, yang sedari tadi memperhatikannya.

“Apa dia selalu lelah seperti ini?”

Ada jeda sesaat. “Tidak juga,” balasnya kemudian.

Mendelik pada sosok Baekhyun yang tertidur, Chanyeol menghela napas. “Dia bilang dia sedang demam.”

“Demam…” Luna bergumam.

“Beri tahu dia untuk segera periksa kalau ini tambah parah.”

Luna baru saja akan berkata lagi, tapi gagal menemukan kalimat yang diinginkannya. Dia meregangkan bahunya dan mengangguk. “Aku akan beri tahu dia.” Dia berdiri disana beberapa saat sebelum berpikiran bahwa Chanyeol ingin ditinggal berdua saja dengan Baekhyun. Dia meninggalkan kamar itu.

Begitu Luna pergi, Chanyeol beralih pada Baekhyun sepenuhnya. Dengan sebuah gerakan, dia menyisir rambut Baekhyun yang jatuh di wajahnya. Ketika jarinya menyentuh helai rambut, dia merasakannya. Rambutnya tidak lagi lembut dan halus—tidak seperti yang dia ingat. Chanyeol tidak tahu apa yang harus dipikirkannya. Dalam benaknya, dia berpikir mungkin alasannya karena stres.

 Dia berbalik ke belakang dan melihat laptop milik Baekhyun yang terbuka.
Akhirnya, Chanyeol beranggapan bahwa Baekhyun hanya stres karena bekerja berlebihan pada buku barunya. Membungkuk pelan, Chanyeol merasa ragu awalnya, tapi hasratnya ternyata lebih kuat. Dia mengecup dahi Baekhyun, berlama-lama, sebelum kemudian mundur dan keluar dari ruangan.




7200
Selama masa renggang hubungan mereka, Chanyeol terlampau sibuk sampai tidak mengacuhkan cerita-cerita Baekhyun dan kerjaannya sama sekali. Dia tahu kesukaan Baekhyun, tapi dia tidak peduli karena terlalu lelah dengan pekerjaannya. Sore itu, untuk pertama kalinya, Chanyeol merebahkan diri dan mendengarkan cerita rancangan Baekhyun.

Baekhyun bergerak lambat, dan Chanyeol sudah mulai terbiasa dengan hal ini sekarang. Dia juga sudah terbiasa dengan ingatan Baekhyun yang buruk—ia tiba-tiba saja lupa banyak hal—atau respon terlambat darinya. Sering kali Baekhyun mengusap mata dan memejamkannya rapat-rapat. Sementara Chanyeol, dengan niat berusaha membantu, akan mengambilkan air minum untuknya.

Kertas-kertas bertebaran diatas lantai ruang tengah. Chanyeol mengamati Baekhyun yang kesusahan menyusun lembaran kertas itu sesuai keinginannya—kalau memang itu yang membuatnya terlihat bingung sedari tadi.

“Jadi,” Baekhyun memulai, “semua ini adalah ide dan rancanganku.”

“Banyak sekali,” timpal Chanyeol, mengamati kertas berantakan diatas lantai. “Apa ini ide-idemu yang dulu?”

“Tidak. Aku membuang semua yang kumiliki waktu itu.”

Chanyeol mengangkat sebelah alis. “Semua?”

Sambil mengangguk, Baekhyun mengulangi. “Aku membuang semuanya di akhir musim semi.”

“Kenapa?”

“Aku ingin mulai dari awal. Aku baru sadar aku hanya menulis hal konyol.”

“Yah, hal konyol kan memang  kesukaanmu. Benar?” Chanyeol tersenyum padanya.

“Benar, tapi aku ingin coba sesuatu yang berbeda.”

Melirik kalimat yang tertera diatas kertas, Chanyeol menyeringai. “Aku yakin hasilnya pasti bagus. Seperti sebelumnya.”

Ketika menatap Chanyeol, matanya berkilap. Bibirnya membentuk sebuah senyum. “Terimakasih, Yeol.”

“Sama-sama.”

Setelah beberapa saat, dia bertanya, “Apa kau akan membacanya?”

Chanyeol mengerjapkan mata. “Bukumu?”

Baekhyun membalas sambil mengangguk, “Ya, jika sudah diterbitkan.” Kemudian dia melanjutkan, “Aku tidak akan memaksamu untuk membaca itu. Sudah kubilang, satu minggu ini adalah hal terakhir yang kuminta darimu…”

Hatinya melengos, Chanyeol mengulurkan tangan dan memutar wajah Baekhyun ke arahnya. “Aku akan membacanya.”

Ketimbang senang, Baekhyun malah terlihat sedih, berkebalikan dengan apa yang Chanyeol harapkan. Baekhyun mengangguk lagi sembari mengigit bibirnya. “Terima kasih.”
“Tidak masalah.”

Ketika Baekhyun diam sesaat untuk memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, Chanyeol menatapnya dengan miris. “Sakit kepala?”

“Ya…” ucap Baekhyun lirih. “Sakit kepala.”




8640
Chanyeol menatap pesan-pesan dari Kyungsoo di layar ponsel. Dia membalasnya dengan singkat sebelum mematikan kembali ponselnya. Dia menapakkan kakinya ke dapur dan menemukan Luna disana sendirian, sesuai dengan yang dia inginkan. Tangannya menepuk pundak Luna, tapi Chanyeol mundur dengan spontan ketika sang gadis berbalik dengan pisau dalam genggamannya.

“Oh,” katanya. “Hai, Chanyeol.”

“Hai.” Chanyeol menegakkan badan dan membetulkan bajunya—yang dia yakin pasti baju bekas masa kuliahnya dulu. “Aku ingin minta tolong padamu.”

Luna menatapnya. “Minta tolong apa?” tanya si gadis, hati-hati.

“Bisakah kau buatkan makanan kesukaan Baekhyun malam ini? Dan apa kau punya wine?”

Wine…”

“Sebagai pengiring makan malam,” jelasnya.

“Kupikir Baekhyun lebih baik minum air saja, Chanyeol…” gumam Luna.

Chanyeol terperanjat, namun kemudian dia mengangguk. “Baiklah. Tanpa wine. Tapi bisakah kau buatkan makanannya?”

Luna meletakkan pisaunya diatas konter, lalu melipat lengan. “Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku ingin memberinya makan malam yang menyenangkan.”

“Kenapa?”



“Ini malam terakhirku disini.”

Luna menghela napas. “Chanyeol, jangan. Melakukan semua hal ini tidak akan membantunya sama sekali. Kau tahu kau hanya akan menyakitinya, kan? Kau berbuat sejauh ini dalam semalam, tapi kau hanya akan meninggalkannya esok hari. Aku tahu kau berusaha berbaik hati, tapi ini terlalu kejam.”
Rahangnya terasa kaku, Chanyeol tidak tahu apa yang harus dia katakan. “Aku ingin melakukannya. Bukan untuk menyakiti Baekhyun, tapi untuk membalasnya selama ini.”

“Apanya yang akan kau balas? Kau akan meninggalkannya besok demi orang lain.”

Chanyeol mundur satu-dua langkah, hatinya sakit. Yang dikatakan Luna benar, itu adalah kenyataan. Besok dia akan pergi dari rumah ini dengan surat cerainya, dan dia tidak akan kembali lagi. Dia akan meninggalkan Baekhyun tanpa apa-apa, hanya sebuah rumah dan sejumlah uang. Rasanya menyakitkan, sekarang adalah malam sebelum kepergiannya dan Chanyeol tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.

Chanyeol menelan ludahnya dengan susah payah. “Luna, malam ini saja. Kumohon.”

Luna menatapnya dengan tajam lalu berbalik membelakanginya. “Ya sudah.”

“Terima kasih,” balas Chanyeol, menghela napas dengan lega.

Setelah beberapa detik, Luna tiba-tiba bertanya. “Apa kau masih mencintainya?”

“Pertanyaan macam apa itu?” Chanyeol mendesis, ragu dengan jawabannya.

“Pertanyaan yang masuk akal.”

Tenggelam dalam pikirannya, Chanyeol sadar bahwa ternyata dia tidak tahu jawabannya. Hatinya berselisih. Kata ‘rumah’ bukan lagi sesuatu yang berarti jelas baginya. Hari-hari yang dia lewatkan di rumah terasa lebih hangat ketimbang rutinitasnya di apartemen kota—yang sudah dia jalani selama bertahun-tahun. Suara tawa Baekhyun membuatnya nyaman dan tenang, sementara milik Kyungsoo hanya terdengar seperti tiruan yang mirip dengan Baekhyun. Chanyeol menyadari Baekhyun terlihat lebih lelah dan sayu sekarang, tapi dia masih bisa mendapati percikan api yang terpancar dari dua matanya.

Harusnya dia tidak ragu untuk menjawab ini, tapi otaknya—yang mengatur semua perasaan dan tindakannya—mengacaukan semuanya, hatinya, membuat Chanyeol tenggelam dalam kebingungan. Hatinya masih mencintai Baekhyun, tapi yang terbayang dalam kepalanya hanya Kyungsoo.
Setelah tidak mendapat respon juga, Luna mengedikkan bahunya. “Lupakan saja. Aku akan memasak untukmu malam ini. Tolong buat dia bahagia, walau hanya untuk satu malam.”




Ruangan itu dibuat remang, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang redup. Sajian makan malam tergeletak diatas meja dengan rapi.

Baekhyun berjalan masuk dan menggigit bibirnya keras-keras, sampai dia pikir nyaris berdarah. Dia ingin keluar dan lari jauh-jauh karena ini semua terlihat semu. Tetapi ketika punggungnya menubruk Chanyeol di belakang—yang mendesaknya masuk dengan dorongan di pundaknya—Baekhyun tidak punya pilihan lain.

Tepat setelah mereka menempati kursinya, makan malam dimulai. Untuk beberapa menit pertama sepi—tidak ada yang bicara, tapi lambat laun percakapan mulai berjalan. Keadaannya makin membaik ketika Baekhyun tersenyum memamerkan gigi, mengomentari penampilan mereka. Chanyeol mengenakan kaus polos dan celana pendek, sedangkan Baekhyun hanya berbalut t-shirt dan bawahan piyama. Keduanya bukan penampilan yang cocok untuk acara makan malam romantis macam begini.

Saat mereka usai, Baekhyun beranjak dari meja makan sambil menuturkan terima kasih, berniat untuk pergi mencuci tangannya. Tapi Chanyeol punya rencana lain. Dia menarik lengan Baekhyun menuju ruang tengah, yang juga remang-remang. Beberapa lilin dengan aroma lembut diletakkan di beberapa tempat, persis seperti di ruang makan sebelum ini.

Chanyeol kemudian menekan tombol remote, menghidupkan musik yang mengalir pelan dalam ruangan. Ketika itu, Baekhyun bergetar kecil, dia tidak bisa menghadapi semua ini. Dia ingin jatuh lemas di atas lantai, tapi lengan Chanyeol menahannya. Chanyeol melingkari pinggang si lelaki kecil, lalu tangannya yang lain masuk ke dalam sela-sela jemari Baekhyun. Mereka bergerak mengayun dari satu sisi ke sisi lainnya.

Sungguh momen yang manis, tapi untuk Baekhyun, ini juga menyakitinya. Walaupun Chanyeol menyandarkan wajahnya diatas kepala Baekhyun, dan walaupun mereka masih berayun mengikuti irama lembut yang mengalun; dia bisa mendengar suara rintihan tangis Baekhyun.
Chanyeol mendekap Baekhyun lebih erat, dia menggigit bibir dan memejamkan matanya rapat-rapat.  Dia mengabaikan rasa sesak di tenggorokannya dan setengah mati menahan desakan untuk diam-diam menangis juga.




10080
Pagi tiba, dan rasanya Chanyeol tidak ingin kembali ke kota lagi. Tapi dia harus. Kehidupannya menunggu. Dia memang seharusnya berada disana, tempat Kyungsoo berada. Sambil menghela napas panjang, dia beranjak dari ranjang dan memeriksa ponselnya. Ada banyak panggilan masuk dari kekasihnya dan Chanyeol pikir mungkin sudah waktunya untuk menelepon balik.

Dia dibanjiri pertanyaan ketika Kyungsoo mengangkat teleponnya. Berkali-kali terlontar “Kenapa kau tidak meneleponku balik?!” dan “Kau mengabaikan pesan-pesanku!”—tapi begitu Kyungsoo sudah kembali tenang, Chanyeol menjelaskan bahwa dia akan pulang pagi ini. Dengan gusar, Kyungsoo mengiyakan, mendesaknya untuk segera pulang agar mereka bisa melanjutkan kehidupan mereka. Setelah itu, sambungan telepon diputus.

Chanyeol melepas pakaian yang dia pakai di rumah ini—yang membuatnya terlihat seperti dirinya yang dulu—dan kembali mengenakan pakaiannya ketika dia tiba pertama kali. Dia menata rambut dan merapikan jasnya.  Lantas dia menatap cermin lagi, mengenali si bajinganyang telah menjadi dirinya selama ini.

Di dapur, dia mendapati Baekhyun tengah duduk diatas meja makan. Ketika lelaki itu mengangkat wajahnya, Chanyeol menyadari bahwa kedua matanya lebam dan merah. Kentara sekali Baekhyun menangis, dan ini membuat hatinya jumpalitan—apalagi ketika Baekhyun tersenyum padanya.

“Selamat pagi.”

“Pagi.”

Keheningan menyelimuti ruangan itu ketika Baekhyun beralih pada berkas yang ada di depannya. Dia mengulurkannya pada Chanyeol menggunakan kedua tangan, seolah satu tangan saja tidak mampu untuk mengangkat berkas itu. “Semuanya sudah ditandatangani.”

Chanyeol meringis ketika dia mengambil berkas tersebut dari Baekhyun. Jemarinya bergetar, tapi Chanyeol mencoba untuk mengabaikannya. “Terima kasih.”

Baekhyun mengangguk, lalu memalingkan mukanya. “Apa kau akan sarapan disini?” bisiknya lemah.
“Tidak…” balas Chanyeol pelan. “Aku harus kembali ke kantor siang ini… Aku harus pergi secepat mungkin.”

Tanpa menatapnya, Baekhyun menganggukkan kepala. “Aku mengerti.” Matanya bergulir ke arah Chanyeol untuk yang terakhir kalinya, dan Baekhyun tersenyum, sakit. “Terima kasih untuk semuanya, Yeol,” tuturnya dengan suara yang bergetar.

Hatinya seperti dilubangi. Chanyeol ingin menarik Baekhyun dari tempatnya duduk dan menciumnya, menangis, dan melakukan apapun yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Dia ingin memperbaiki semua ini. Dia ingin tinggal, Chanyeol benar-benar tidak ingin pergi. Dia tidak ingin kembali ke kantor atau apartmentnya. Hatinya meraung-raung ingin tinggal di tempat yang dia sebut rumah, tapi tubuhnya tidak berpikir demikian.

Dengan raut datar, Chanyeol menelan ludah dan mengangguk pelan, sementara Baekhyun kembali mengalihkan wajah. “Tidak masalah. Terima kasih untuk…. berkasnya.” Chanyeol tahu Baekhyun tidak akan menimpalinya, jadi dia melanjutkan kalimatnya. “Jaga diri baik-baik, Baek.”

“Selamat tinggal, Yeol,” tutur Baekhyun dengan pelan, nyaris seperti bisikan. Wajahnya masih menghadap arah lain, bersikeras tidak mau berpaling.

Disamping semuanya, Chanyeol bersyukur Baekhyun tidak mau menatapnya balik. Kalau tidak, mungkin dia bisa melihat raut sesal pada wajahnya. Dengan berat hati, Chanyeol berbalik meninggalkan tempat yang ingin dia sebut rumah, tempat dimana seharusnya dia berada.

“Selamat tinggal, Baek…”





Ketika Chanyeol kembali ke apartmen, terasa seperti ia kembali sebagai pria yang berbeda. Aneh bagaimana waktu satu minggu membuatnya membenci apa yang terjadi selama dua tahun terakhir dan apa yang telah ia lakukan. Kyungsoo menyambutnya dengan senang, tetapi Chanyeol menemukan dirinya sulit untuk tersenyum. Ia ingin menangis, tapi ia tidak bisa. Ia tidak ingin menangis karena jika itu terjadi maka pikirannya akan kembali ke Baekhyun. Ia justru memaksa dirinya untuk memeluk Kyungsoo.




Empat bulan berlalu dan Chanyeol merasa dirinya terombang-ambing dalam hidup. Musim gugur susah di pertengahan musim—mungkin sedang akan berakhir—dan warna pepohonan telah berubah. Tidak hanya dedaunan yang berubah, namun status pernikahannya juga telah berubah. Cincin yang melingkar di jarinya bukan lagi yang dulu ia tukar dengan Baekhyun, namun cincin baru yang didesak Kyungsoo untuk mereka miliki. Ia bertunangan untuk yang kedua kali dalam hidup dan Chanyeol mengakui kepada dirinya sendiri bahwa yang kedua kali ini ia tidak merasa sebahagia saat pertama.

Ketika akhirnya mendapatkan waktu libur, Chanyeol sendirian berjalan-jalan di taman untuk merenung. Ia masih merasa hampa, terutama dengan adanya pepohonan, Karena itu mengingatkannya kepada pria mungil berambut coklat yang biasa mengukir nama mereka di pepohonan.

Memikirkan Baekhyun adalah hal yang ia lakukan sehari-hari. Namun, itu tidak membantu. Chanyeol masih merasa seperti dirinya berwarna hitam dan putih sementara sekitarnya penuh warna—ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk menghapus rasa itu. Seluruh darah yang mengalir ditubuhnya seakan habis terkuras ketika ia membuka pintu dan pengacara Baekhyun berdiri di lorong. Pada awalnya, Chanyeol pikir itu tentang perceraian mereka. Di satu sisi, ia berharap Baekhyun mengubah pikirannya, memberikan Chanyeol alasan untuk menghentikan ini semua. Tapi hidup begitu kejam dan yang terjadi adalah bukan yang ia pikirkan.

Pengacara itu berada di sana untuk sesuatu yang lebih suram; sesuatu yang mengerikan. Dan bahkan sebelum pengacara menjelaskan detail aset dan uang, Chanyeol jatuh terduduk di lantai.
Mereka mengatakan padanya itu kanker otak.

Itu bukanlah flu,untuk waktu yang lama Chanyeol marah karena suaminya yang telah meninggal berbohong. Ia marah karena kenyataannya Baekhyun tidak pernah mengatakan hal itu padanya dan selama ini Baekhyun menahan rasa sakit itu. Setelah mendengar itu barulah ia menyadari semuanya.

Sakit kepala Baekhyun yang kuat dan menyakitkan, gerakannya yang lambat, lemah, rasa lelah, ia yang sering lupa, kecerobohannya dan sikap protektif Luna yang berlebihan. Semua itu melebur jadi sebuah fakta. Dan ia masih memiliki kekuatan untuk tersenyum dan berpura-pura seakan-akan semuanya baik-baik saja, dan fakta itu menusuk Chanyeol tepat di hati. Baekhyun telah menderita dan kondisinya memburuk, dan ia memiliki pikiran kejam untuk melukainya, bahkan lebih kejam dengan memintanya menandatangai dokumen perceraian.


Perlu waktu untuk Chanyeol pulih, tapi ia tahu ia tidak akan pernah pulih dari perasaan itu. Kesalahan-kesalahannya mengikat jiwanya dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia hapus. Penyesalan membekas selamanya. Ia menyesal tidak mendengarkan kata hati, ia menyesal ia terlalu sibuk untuk sekedar menjaga hubungan mereka, ia menyesal lebih memilih pekerjaan dibandingkan suaminya sendiri; penyesalan Chanyeol begitu banyak hingga itu cukup membuatnya gila.
Tapi, ia harus melanjutkan hidup walau seberapa besar hal itu menyakitinya.

Ia mengambil nafas dalam dan memandangi langit, menatap langit seiring dengan nafasnya yang membuat hembusan asap putih karena udara dingin saat itu. Dengan beban berat di pundak, ia terus berjalan pulang menuju rumah, yang baginya bukanlah rumah. Rumah adalah bangunan kecil jauh di pedesaan yang pernah ia tinggali bersama Baekhyun. Rumah tidak terletak di kota. Tidak pernah begitu.

Sambil berjalan, ia terus menunduk hingga berada di ujung blok. Bersama dengan orang-orang lain, ia menunggu lampu pejalan kaki menyala, matanya menatap sekeliling hingga terpaku pada sebuah toko buku besar tepat di belakangnya. Ia harusnya mengalihkan pandangan dan mengabaikan toko itu, tapi wajah dan nama yang terpajang di etalase menarik matanya. Lampu pejalan kaki menyala berwarna hijau. Orang-orang berjalan. Chaneyeol berjalan ke arah lain.

Ia memasuki toko dan langsung menuju rak buku-buku baru. Mengambil satu, matanya memperhatikan buku itu dengan jantung berdetak cepat dan tangan terkepal.
Itu buku terakhir Baekhyun. Buku yang ia minta Chanyeol untuk membacanya.
Tanpa keraguan, Chanyeol langsung membawa buku itu ke kasir dan membelinya.


Malam itu ketika Kyungsoo lembur hingga malam di kantor, Chanyeol membaca buku itu dan menangis. Ketika ia membaca catatan penulis di halaman awal, ia tidak mengerti mengapa Baekhyun memilih untuk menulis itu hingga ia membacanya. Dan setelah Chanyeol membaca setiap kata dan ia menutup buku itu, tangis membasahi wajahnya dan ia menyadari buku itu adalah kisah mereka, namun dengan akhir yang berbeda yang diam-diam diinginkan oleh hati mereka.

“Seorang giant selalu mengatakan padaku bahwa percuma untuk menangis di akhir sebuah film hanya karena akhir film itu tidak seperti yang kita inginkan, karena itu tidak akan mengubah apapun, dan aku selalu bertanya padanya apakah itu salah untuk mengharapkan akhir yang berbeda.”

Tidak mampu menahan lagi, Chanyeol melempar buku itu ke atas ranjang—mengambil jaket dan meninggalkan apartemen. Tanpa sepengetahuannya, ketika buku itu tehempas, terbuka di salah satu halaman terakhir dimana Baekhyun menulis pesan terakhirnya.

“01010100 01101000 01100001 01101110 01101011 00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01100110 01101111 01110010 00100000 01101100 01101111 01110110 01101001 01101110 01100111 00100000 01101101 01100101 00100000 01100101 01110110 01100101 01101110 00100000 01101001 01100110 00100000 01101001 01110100 00100000 01110111 01100001 01110011 00100000 01101010 01110101 01110011 01110100 00100000 01100110 01101111 01110010 00100000 01100001 00100000 01110111 01100101 01100101 01101011 00100000 01100001 01101110 01100100 00100000 01110100 01101000 01100001 01101110 01101011 00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01100110 01101111 01110010 00100000 01101101 01100001 01101011 01101001 01101110 01100111 00100000 01101101 01100101 00100000 01100110 01100101 01100101 01101100 00100000 01100001 01110011 00100000 01101001 01100110 00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 01100100 00100000 01101101 01100101 00100000 01100001 01100111 01100001 01101001 01101110 00101110 00100000 01011001 01101111 01110101 00100000 01110100 01101111 01101111 01101011 00100000 01101101 01100101 00100000 01100010 01100001 01100011 01101011 00100000 01110100 01101111 00100000 01100001 00100000 01110100 01101001 01101101 01100101 00100000 01110111 01101000 01100101 01101110 00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 01100100 00100000 01101101 01100101 00100000 00100000 01100001 01101110 01100100 00100000 01110100 01101000 01100001 01110100 00100111 01110011 00100000 01100001 01101100 01101100 00100000 01001001 00100000 01100011 01101111 01110101 01101100 01100100 00100000 01100101 01110110 01100101 01110010 00100000 01100001 01110011 01101011 00100000 01100110 01101111 01110010 00100000 01101001 01101110 00100000 01110100 01101000 01101001 01110011 00100000 01110011 01101000 01101111 01110010 01110100 00100000 01101100 01101001 01100110 01100101 01110100 01101001 01101101 01100101 00101110 00100000 01001001 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 00100000 01111001 01101111 01110101 00101100 00100000 01100111 01101001 01100001 01101110 01110100 00101110 00100000 01010100 01101000 01100001 01101110 01101011 00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01100110 01101111 01110010 00100000 01100101 01110110 01100101 01110010 01111001 01110100 01101000 01101001 01101110 01100111 00101110 00101110 00101110″




end


Semua pasti pada tau kan FF fenomenal ini, ini hanya copasan dari blog sebelah. Serius ini FF udah berkali-kali bikin saya mewek, sebenernya ceritanya sederhana tapi sumpah itu kena banget dah pokoknya. Oh ia, ada yang udah baca kelanjutan FF ini? Buat yang belum sempat baca, baiklah saya berbaik hati akan membagikan FFnya. TAPI NANTI !! HAHAHA... (Eveil).


Buat yang (masih) belum tau arti dari kode Biner di atas nih saya kasih tau artinya semoga rasa penasaran kalian bisa sedikit berkurang hahaha.. (lebe bahasa lu min).


English:
"Thank you for loving me even if it was just for a week and thank you for making me feel as if you loved me again. You took me back to a time when you loved me  and that’s all I could ever ask for in this short lifetime. I love you, giant. Thank you for everything…"

Credit: hyunriCHO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar